Sementara itu di dataran lain, Kebo di temaram malam
berselimut sendiri menyadari kepergian Jeng-jeng.
“ini bukan kali pertama kau
mencoba meninggalkan aku”.
“aku tak pernah mengerti maksudmu, tapi mana mungkin
aku memaksamu berada di sampingku, sedangkan aku tahu kau tak pernah menginginkannya.
Hanya saja, haruskah dengan cara ini kau memilih pergi, bahkan tak ada kata
yang mampu kau jelaskan. Meninggalkan begitu saja, pastinya bukan hal yang
baik, Apakah bahkan kamu masih bisa disebut manusia”.
Kebo menatap malam sayu,
sebulir air keluar dari sudut mata kirinya.
“aku harap kamu mendapat apa yang kamu cari, Jeng. sekalipun
mungkin aku bukan yang kau harapkan, tapi terima kasih atas waktu yang telah
kita lalui bersama. Aku tak akan pernah memaksamu lagi”.
---
Langit yang hitam mulai disinari, cahaya kemerahan muncul di
sudut timur, dan Jeng-jeng memutuskan terus berjalan.
“Maaf Kebo. Aku tak bisa lebih dalam dari apa yang kita
jalani. Aku tak akan membawamu juga di suatu jalan yang aku sendiri belum
mengerti. Sekalipun bersama akan lebih baik, tapi aku akan menjadi lebih egois
jika tetap menyertakanmu untuk sekedar menemani dan pada akhirnya jika aku
menemukan apa yang aku cari, aku akan tetap meninggalkanmu”.
“ada yang berkata bahwa sesuatu akan lebih baik tidak
diungkap. dan jika benar demikian, mungkin ini salah satunya. ketika kita nanti
bertemu kembali, kau berhak tidak mengenalku dan pura-pura tidak melihatku, aku
pantas mendapatkannya, hanya berbuatlah seperti yang kau inginkan. bahkan
manusia saja masih sanggunp mengucap maaf, tapi aku, aku mungkin tak layak
disebut manusia”
Sejak saat ini, Jeng-jeng melangkah sendiri. Ia tidak
menginginkan bertemu siapapun di jalan. Ia hanya ingin menemukan arah yang
hatinya menuntun.