Sementara itu di dataran lain, Kebo di temaram malam
berselimut sendiri menyadari kepergian Jeng-jeng.
“ini bukan kali pertama kau
mencoba meninggalkan aku”.
“aku tak pernah mengerti maksudmu, tapi mana mungkin
aku memaksamu berada di sampingku, sedangkan aku tahu kau tak pernah menginginkannya.
Hanya saja, haruskah dengan cara ini kau memilih pergi, bahkan tak ada kata
yang mampu kau jelaskan. Meninggalkan begitu saja, pastinya bukan hal yang
baik, Apakah bahkan kamu masih bisa disebut manusia”.
Kebo menatap malam sayu,
sebulir air keluar dari sudut mata kirinya.
“aku harap kamu mendapat apa yang kamu cari, Jeng. sekalipun
mungkin aku bukan yang kau harapkan, tapi terima kasih atas waktu yang telah
kita lalui bersama. Aku tak akan pernah memaksamu lagi”.
---
Langit yang hitam mulai disinari, cahaya kemerahan muncul di
sudut timur, dan Jeng-jeng memutuskan terus berjalan.
“Maaf Kebo. Aku tak bisa lebih dalam dari apa yang kita
jalani. Aku tak akan membawamu juga di suatu jalan yang aku sendiri belum
mengerti. Sekalipun bersama akan lebih baik, tapi aku akan menjadi lebih egois
jika tetap menyertakanmu untuk sekedar menemani dan pada akhirnya jika aku
menemukan apa yang aku cari, aku akan tetap meninggalkanmu”.
“ada yang berkata bahwa sesuatu akan lebih baik tidak
diungkap. dan jika benar demikian, mungkin ini salah satunya. ketika kita nanti
bertemu kembali, kau berhak tidak mengenalku dan pura-pura tidak melihatku, aku
pantas mendapatkannya, hanya berbuatlah seperti yang kau inginkan. bahkan
manusia saja masih sanggunp mengucap maaf, tapi aku, aku mungkin tak layak
disebut manusia”
Sejak saat ini, Jeng-jeng melangkah sendiri. Ia tidak
menginginkan bertemu siapapun di jalan. Ia hanya ingin menemukan arah yang
hatinya menuntun.
“ngomooong deweeee a mbaaaaakkk?” tiba-tiba suara datang
dari atas.
Kali ini Jeng-jeng sungguh terkejut “asem!” sontak ia
berteriak “siapa kamu? keluarlah… ini belum betulan pagi”
tidak ada suara menyahut.
“cahaya belum betulan terang untuk bisa melihat wujud
aslimu” kali ini suara Jeng-jeng sedikit lirih, ia masih was-was apakah yang ia
dengar adalah betulan suara.
Tak ada lagi jawaban. Jeng-jeng menghela dan kali ini ia
memutar tubuh, siap melanjutkan langkah.
“aaah!” Jeng-jeng berteriak, seseorang memegang pundak
kanannya segera. Jeng-jeng menoleh sepertiga detik setelah merasa. Ia menoleh
dan mendapat seorang berdiri dengan topi yang menutup hingga matanya, sehingga
yang terlihat hanya sebagian hidung dan mulut.
“ah, tak kusangka kau seterkejut itu?” Seorang lelaki kini
berdiri di hadapan Jeng-jeng sambil tersenyum.
“ss..siapa kamu? apa maumu? dari mana kamu? kenapa kamu? mau
apa? kenapa di sini? kenapa mengagetkan ku?” Jeng-jeng masih terbata
Sang lelaki melengos dan berkata “yakin, aku mau jawab semua
pertanyaanmu. HAHA” lelaki itu melintasi Jeng-jeng, pergi di jalan di depan
Jeng-jeng, meninggalkan Jeng-jeng dalam beku dan kelu.
Jeng-jeng seperti melihat penampakan, ia hanya terdiam dan
melongo. Tidak percaya bahwa ini semua nyata
“mbak, yang bikin skenario, jalan cerita, plis jangan ngagetin aku lagi
yo. Tulung, iki sek peteng”
“aku harus tenang” Jeng-jeng berbisik lirih.
“beginilah jika kamu berjalan sendiri, hal-hal di luar
dugaan bisa muncul kapan saja dan tiba-tiba, Jeng” Jeng-jeng menguatkan diri, tersenyum
dan mulai melangkahkan kaki.
“sek, ngomong dewe aje mba?”
“hah? kenapa kamu tiba-tiba di bawah pohon. Sejak kapan?
kamu siapaaa?” Akumulasi keterkejutan Jeng-jeng.
Lelaki bertopi itu kemudian berjalan menuju Jeng-jeng
“kau
bodoh, tak tahu orang memperhatikanmu selama ini”. Lelaki itu menaikkan topi,
sehingga terlihat bagaimana matanya mengalir. Kali ini ia melihat Jeng-jeng
dengan dalam,
“hem, tapi kau kumaafkan.. HAHA” Lelaki itu berbalik dan berjalan
mendahului Jeng-jeng.
Jeng-jeng sungguh tak mengerti apa yang sedang ia hadapi.
Siapa lelaki itu, untuk apa dia muncul kemudian berjalan mendahului. Dan apa
maksudnya selama ini memperhatikan?
Yang dimengerti Jeng-jeng ialah kini ia harus tetap
menemukan jalan yang ia cari. Jeng-jeng menghela dan mencoba tidak
memperdulikan lelaki yang kini berjalan hanya 5 langkah di depannya.
Setelah 2876 langkah *plaur ngitung*
“apakah kamu mau terus diam? kamu yakin ga mau jawab
pertanyaanku, bahkan mungkin kita sudah sama-sama berjalan ribuan meter”
Jeng-jeng bertanya hati-hati dengan
jarak yang masih 5 langkah.
“apa untungnya jika kita saling tahu” Lelaki itu menjawab
tanpa tendensi
“Haha… iya, kamu benar juga” kali ini Jeng-jeng menertawakan
diri sendiri.
Kali ini sang lelaki berhenti berjalan. Dan mengejutkan
Jeng-jeng.
“hei, kenapa tiba-tiba berhenti. tidakkah ada cara lain
bagimu selain mengagetkanku” Jeng-jeng memasang wajah gemas, mengambil langkah
dan mendahului sang lelaki.
“saat aku berkata ‘apa untungnya kita saling mengenal’
mengapa jawabanmu seperti tidak menginginkanku di sini”
Jeng-jeng berhenti dan menoleh “apa maksudmu?”
“haha, sudahlah, kita berjalan saja” Kali ini sang lelaki
mengambil langkah mendahului Jeng-jeng. Jeng-jeng yang masih terdiam, terpaku
berbisik lirih “mana mungkin aku mau berjalan beriringan dengan orang yang
bahkan aku tak tahu siapa”.
“kamu beneran udah ga mau jalan” Sahut lelaki.
“ah, iya.” Jeng-jeng tersdar. Mereka kembali berjalan
“tidakkah menurutmu ini aneh. Cuma ada kita berdua sepanjang
jalan ini, tapi kita malah memilih untuk saling tidak mengetahui satu sama
lain. cukup aneh bukan?” Jeng-jeng
mencondongkan muka, melihat ke arah lelaki, kali ini jarak mereka hanya
2 langkah.
“tergantung sejauh mana kau melihatnya”
Jeda.
“sejak awal, kau tak pernah berbicara yang aku mengerti”
Jeng-jeng menyahut
“apakah aku harus menjelaskan supaya kau bisa mengerti?
bukankah kau orang yang mengatakan bahwa sekalipun kau tak mengucapkan,
harusnya kau tahu maksud orang lain?”
“oh ya? kapan aku mengatakannya?”
“kau bodoh, tak melihatku selama ini. Aku memperhatikanmu, tapi kau hanya tak
melihatku” lelaki itu tersenyum tipis. “ah, udaranya oke” lelaki itu
merentangkan tangan, berjalan meninggalkan Jeng-jeng.
Jeng-jeng mengela panjang, ia berjalan merunduk, dan melihat
ranting di jalan. Ia memungut dan mulai mengukir jalan sekenanya.
“apa yang kau lakukan?” lelaki itu bertanya.
“apakah kau tak bisa melihat. aku tak perlu menjawab
pertanyaanmu” jawab Jeng-jeng.
“haha, apakah kau membalasku? tak kukira kau berpikir
seperti anak-anak” lelaki itu berkata sambil tertawa.
“apakah kau akan terus seperti ini?” Jeng-jeng membuang
ranting dan bergegas berjalan.
Jeng-jeng tidak menoleh ke belakang. Ia kesal, kesal dengan
dirinya yang terlalu larut dalam suasana sehingga tidak bisa melihat yang
sebenarnya terjadi.
Jeng-jeng berada di ujung bukit, kali ini ia bisa melihat dataran luas. Ia memandangnya dengan dalam, tak mampu mengeja, ia hanya menyerapnya.
Jeng-jeng berada di ujung bukit, kali ini ia bisa melihat dataran luas. Ia memandangnya dengan dalam, tak mampu mengeja, ia hanya menyerapnya.
“kau selalu seperti ini, Jeng” Jeng-jeng menoleh, lelaki itu
sudah berdiri di belakangnya, kembali melihat daratan
“kau berkata seperti itu, seperti kita sudah saling mengenal
sejak lama” Tatapan Jeng-jeng masih lurus ke daratan.
“bukan saling. aku yang mengenalmu, tapi tidak kamu” kali
ini lelaki bertopi berdiri di sisi kiri Jeng-jeng, membuka topi perlahan,
menghadap dataran, berdiri di puncak yang sama, sehingga dengan matahari pagi Jeng-jeng dapat dengan jelas melihat lelaki di sebelahnya.
“siapa kamu sebenarnya?” Jeng-jeng melihat seksama.
Lelaki itu menoleh ke arah Jeng-jeng “aku…” ia tersenyum,
kembali melihat dataran
“aku bagian dari masa lalumu…yang belum usai”
“aku bagian dari masa lalumu…yang belum usai”
Jeng-jeng tidak mengerti. “apa maksudnya?”
Lelaki itu kembali tersenyum “apakah engkau akan terus
bertanya, Jeng?
*kali ini angin berhembus
"kamu sendiri yang mengatakan, tak semua bisa diungkapkan,
kau bisa menebaknya Jeng. Bukankah itu cukup rumit?” Lelaki itu kembali melihat
dataran.
Jeng-jeng tertunduk
“tak kusangka aku akan dihukum secepat ini” Jeng-jeng tersenyum, melihat lelaki yang berdiri di sebelahnya dan kembali melihat daratan.
“tak kusangka aku akan dihukum secepat ini” Jeng-jeng tersenyum, melihat lelaki yang berdiri di sebelahnya dan kembali melihat daratan.
“di episode yang lalu aku meminta seseorang untuk bisa
memahamiku bahkan ketika aku tak mengatakannya. ternyata aku sendiri tak cukup
sabar untuk mengerti apa yang dilakukan orang lain tanpa aksara, sehingga aku
perlu bertanya. cukup adil balasan yang kuterima. aku tidak sehebat itu bisa
membaca gerakan”
“apakah kini kau memahami sesuatu yang menarik?” lelaki itu
menyahut
“iya, aku yang selama ini di posisi egois. aku tak
memperhatikan perasaan orang lain. atau bahkan sekedar ingin mengetahui. aku
malah meninggalkan orang yang bersedia bersamaku tanpa tanya, dan bagaimana kini
ia. aku tak punya bayangan. yang jelas aku telah berdosa, dan aku pasti
dihukum” Jeng-jeng tertawa getir.
“kau tahu Jeng, setiap orang pasti pernah berbuat salah.
Tapi di titik kemudian kita menyadari kesalahan, dan menginginkan berubah adalah
satu hal menarik dari manusia itu sendiri. kau belajar. kau mendapat suatu hal
menarik dari hidup”. Lelaki itu membalas
“kenapa aku merasa kalau kita sudah pernah bertemu
sebelumnya?” Retrois Jeng-jeng
Lelaki itu tersenyum, dan memegang kepala Jeng-jeng “bodoh”.
0 komentar:
Posting Komentar